Konflik Laut China Selatan (LCS) dewasa ini kian menjadi perbincangan hangat dikarenakan proses sengketa kepemilikan yang belum juga selesai. Enam negara yang terlibat mengklaim wilayahnya di LCS yaitu Republik Rakyat Tiongkok, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam dan Malaysia. Indonesia dalam hal ini bukan merupakan negara claimant dalam konteks kepemilikan LCS. Hasil dari putusan Mahkamah Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration) di Den Haag terkait LCS semakin meningkatkan ketegangan di kawasan tersebut.
LCS yang diduga memiliki potensi besar baik di bidang biota laut, pariwisata, perikanan, minyak, gas alam dan bahkan navigasi membuat banyak negara berusaha secara kuat untuk mendapatkan legalitas atas LCS. Namun apa yang bisa dilakukan Indonesia sebagai negara yang memiliki politik luar negeri bebas aktif? Politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif dapat dimaknai sebagai prinsip dasar negara dalam menjalankan hubungan dengan negara-negara lain.
Untuk itu, sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia, negara Indonesia tidak memiliki batasan untuk bekerjasama serta menjalin hubungan dengan negara-negara lain yang dianggap sebagai mitra sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia. Indonesia menjadikan doktirn “bebas aktif” sebagai dasar sebuah prinsip politik luar negeri yang berangkat dari situasi global saat itu. Berikut beberapa strategi yang bisa dilakukan Indonesia dalam sengketa kawasan Laut Cina Selatan.
