Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo akhirnya memerintahkan agar pengesahan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ditunda. Semula, RUU itu akan disahkan pada (24/9) mengikuti waktu kerja anggota DPR periode 2015-2019 yang sebentar lagi habis.
Jokowi akhirnya memilih menunda untuk disahkan, usai melihat tingginya polemik dan penentangan terhadap beberapa pasal yang dianggap kontroversial. Salah satunya mengenai santet.
Di dalam draf RUU KUHP pasal 260 tertulis apabila setiap individu terbukti memiliki kekuatan gaib, maka dapat dipidana penjara paling lama tiga tahun atau dipidana dengan paling banyak kategori IV. Berikut isi lengkap pasal tersebut; "(1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Hukuman bui itu bisa bertambah apabila setiap individu menawarkan jasanya untuk mencari untung. Hukumannya bisa ditambah sepertiga dari ancaman bui di ayat 1.
"(2) Jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)."
Sementara, di bagian penjelasannya ada istilah ilmu hitam atau 'black magic'. Menurut poin di bagian penjelasan, hal tersebut membuat resah publik. Namun, di sisi lain pembuktian seseorang telah menyantet pun sulit.
Lalu bagaimana pandangan Majelis Ulama Indonesia mengenai pasal santet tersebut?