Dia adalah sahabat kanak-kanakku. Ingin ku ceritakan kepadamu sejak dulu tentang hal ini. Namun selalu ku ulur waktu. Aku akan memberi tahumu saat kalian sudah saling kenal, dan aku ingin minta pendapatmu. Aku ingin tahu perspektif perempuan lain, selain aku, tentang dia, yang namanya sudah kusimpan rapi selama satu dekade.
Belum juga ku utarakan, kau sudah mendahului membuka perbincangan sensitif ini.
Aku mengagumi sahabatmu. Aku tak memungkiri, aku jatuh hati kepadanya.
Begitu kala itu, perkataanmu terekam kuat di ingatanku. Seketika itu, hatiku berdegup. Aku tak tahu bagaimana seharusnya kabar ini ku cerna baik-baik. Napas pun tak sempat ku tarik, sebab rasanya di sekitarku oksigen sudah terampas oleh kepiluan.
Tanganku dengan sigap memegang cangkir kopi yang isinya tinggal setengah. Ku teguk saat itu juga hingga habis. Begitu pun ampas hitamnya. Aku tak peduli bubuk hitam itu memenuhi gigiku. Sebab, pikiranku kala itu sangat tak sederhana. Bahkan tak sesederhana menyeruput kopi tanpa membiarkan bubuknya masuk ke mulut.
Ku dengar kau baru putus hubungan dengan pacar lamamu. Salah satu alasannya karena kau menyukai sahabatku, yang juga ku kagumi sejak dulu. Kau mengakuinya kepadaku di momen yang hampir bersamaan saat aku ingin membongkar rahasia itu kepadamu. Hanya kepadamu, semula akan ku ceritakan perasaanku, yang ku jaga setengah mati, lebih dari satu dekade.