“Kita sama-sama saling mendoakan, walaupun dengan cara kita yang berbeda. Aku, dengan kedua tanganku yang kulipat dan kujadikan satu. Dan kamu, yang menengadahan kedua tanganmu dengan telapak tangan terbuka ke atas.”
Aku menatap kalung salib yang tergantung di leherku, menatapnya terus menerus tanpa henti kemudian mengelusnya sesekali. Ya Tuhan… Aku mencintai-Mu dan tak mungkin bagiku untuk meninggalkan seluruh ajaran-Mu yang telah kuyakini sejak aku terlahir di dunia ini. Namun, disisi yang lain, aku juga berpikir mengenai masa depan hidupku bersama seseorang yang begitu kucintai pula.
Aku untuk kamu, kamu untuk aku. Namun, semua apa mungkin? Iman kita yang berbeda… Tuhan memang satu, kita yang tak sama. Haruskan aku lantas pergi? Meski cinta takkan bisa pergi… Lagu Peri Cintaku milik Marcell terus mengalun dengan lembut di iPod milikku. Lagu itu dinyanyikan dengan indah oleh penyanyinya. Namun tidak dengan maknanya yang sarat akan kesedihan yang mendalam.
Tentang kisah sepasang kekasih yang saling mencintai namun harus dihadapkan oleh benteng yang tinggi dan kuat diantara kedua orang tersebut yang bahkan sulit untuk diruntuhkan. Keberadaan benteng itu benar-benar telah menjadi penghalang akan kisah mereka berdua. Bukankah itu sungguh menyedihkan? Ya, itu amat menyedihkan, namun seperti itu pula yang kurasa.