Buku Catatan Seorang Pria Patah Hati: Mengagumi Tanpa Bisa Memiliki

Artikel ini merupakan karya peserta kompetisi menulis #CintaDalamKata yang diadakan oleh IDNtimes.com. Kalau kamu ingin artikelmu eksis seperti ini, yuk ikutan kompetisi menulis #CintaDalamKata! Informasi lebih lengkapnya, kamu bisa cek di sini.
Aku menutup mata. Mengingat diam-diam tentang kenangan dulu. Saat seragam putih abu menjadi penanda kita bertemu. Kamu bertamu, di kelas X-B kamu masuk ke kelasku. Aku masih ingat masa-masa itu.
Saat itu kamu masuk hendak meminjam buku tulis kepada Joni, sahabatku. Meski kamu sama sekali tak melihat, percayalah mulai sejak itu aku sudah mengagumimu begitu dalam. Kala itu hanya buku dan Joni yang menjadi sahabat. Aku terlalu malu untuk berteman, apalagi untuk mencinta. Aku menjadikanmu Dewi. Tak untuk dicintai, tapi untuk dikagumi. Mungkin hingga lulus SMA, atau bahkan selamanya.
Tak banyak waktu untuk melihatmu, tapi terlalu banyak waktu untuk memikirkanmu.

Jika sekolah ada tanggal merah, percayalah tak ada tanggal merah dalam benak ini untuk meliburkanmu. Tiap malam kau tak pernah luput dari mimpiku. Menjadikan hari-hari sekolah menjadi mimpi burukku. Ya, melihatmu didekati begitu banyak Arjuna, membuatku makin ciut dengan kebesaran mereka.
Diri ini kian terkurung untuk menjadi pengagummu. Jika cinta adalah perjuangan, aku hanyalah rakyat kecil yang tak mampu melawan. Aku hanya bisa menunggu ada bintang jatuh, dan saat itulah akan kusebut namamu.
Bintang tak kunjung jatuh. Hanya aku yang makin jatuh pada cintamu, oh Dewi. Aku tak bisa bangkit lagi. Aku telah jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku tak tahu harus sedih, putus asa, atau bahagia. Mungkin terdengar gila, tapi aku senang saat kau benar-benar menjadi milikku dalam pikiran ini, dalam alam mimpiku yang paling dalam.
Namun apalah aku ini? Hanyalah seorang budak dari perasaan yang tak mampu memiliki.

Aku ingin malam yang panjang di hari Selasa itu. Aku bermimpi berdansa denganmu di acara promp night. Aku nampak seperti pangeran gagah, berhasil menundukkan beribu-ribu Arjuna yang mendekatimu. Aku nampak seperti Dewa, yang sangat serasi denganmu, Dewi. Tapi matahari terbit juga, menjadi pemisah antara aku dan kau. Aku harus kembali menghadapi kenyataan. Aku bukan siapa-siapa. Pangeran di malam hari, budak di hari-hari. Budak dari perasaan tak mampu memiliki.
Pesta pasca kelulusan tiba. Aku harus berani menyatakan cinta yang sudah bertahun-tahun kupendam. Dengan hati yang berbalut rasa kekalahan, aku menepuk pundakmu. Aku merasa kalah sebelum melancarkan kata asmara, betapa pengecutnya aku kala itu. Aku ingat saat itu aku begitu gugup melihat birunya matamu. Aku mengatur nafas hendak mengucapkan kata basa-basi.
Tapi tak lama didekatmu ada seorang lelaki. Memanggilmu sayang, mengingatkan engkau untuk berdansa dengannya. Mendengar itu, dengan langkah diam-diam aku mundur dan menghilang sebelum engkau menoleh. Aku berbaur dengan para siswa yang lain. Aku menangis dalam hati, tapi ada air mata jatuh di pipi.
Aku hanyalah seorang pengagum yang menangisi hal yang tak pernah aku usahakan.

Malam itu adalah untuk pertama kalinya aku tak memimpikanmu. Aku tak bisa tidur. Aku menangis dibalik selimut. Aku malu dengan diriku sendiri. Aku terisak sampai pagi. Malam itu mengajarkanku, bahwa malam tanpamu adalah malam yang penuh dengan air mata.
Hari baru, tak ada lagi seragam putih abu. Sehabis duka, aku coba merenungkan untuk apa aku berduka. Aku menangisi hal yang memang tak pernah aku usahakan. Aku hanya pengagum, bukan pencinta.
Hidup harus berjalan, Dewi. Aku yakin itu. Untuk itu aku tulis kisah ini dalam buku catatan, sebagai saksi selain Tuhan tentang cinta tulusku kepadamu.
P.s: Jika ada yang menemukan catatan ini dan mengenal sang Dewi, harap serahkan catatan ini kepadanya.
#CintaDalamKata



















