Sebelum Ming Pergi
Tak ada yang memercayai ucapan Ming sampai hari ketika ia pergi untuk terakhir kalinya. Ming sudah berkali-kali bilang, air akan datang deras sekali pada awal malam kedua puluh satu bulan baru. Air itu akan menggenangi jalan-jalan hingga menenggelamkan atap rumah tertinggi di desa itu. Tidak akan surut barang sesenti pun sebelum air itu mengambil yang paling dikehendakinya dari desa mereka. Apa yang dikehendakinya? Ming menggeleng. Dia juga tidak tahu.
Ketidaktahuan Ming atas pertanyaan sesederhana itu sontak meledakkan tawa orang-orang. Sejak dahulu Ming memang dianggap setengah waras yang berarti juga setengah sinting. Pernah desa itu dibuat gempar lantaran Ming tiba-tiba berteriak-teriak mencari Saodah dan mengakuinya sebagai istrinya. Tentu tingkah Ming membuat Wayan Karta, suami betulan Saodah, naik pitam.
Meski saat itu Ming hanya berteriak-teriak di sepanjang jalan, Wayan Karta tak habis pikir bagaimana jika nanti Ming tiba-tiba bertemu Saodah di jalan atau malah nekat mendatangi rumah mereka saat ia pergi. Jangan-jangan Ming akan berbuat yang tidak-tidak pada istrinya. Yang paling menjengkelkan, pemuda-pemuda ramai tergelak. Mereka tidak cuma mentertawakan tingkah Ming melainkan juga Saodah dan Wayan Karta.
Lelucon-lelucon cabul. Mulai dari ternyata Saodah ganas juga bersuami dua dalam sekali waktu sampai bodohnya Wayan Karta mau-maunya berbagai istri dengan seorang Ming. Jangan-jangan, itu karena Wayan Karta telah menyadari ketidakmampuannya memenuhi salah satu kebutuhan Saodah. Wajah Wayan Karta membara. Bagusnya sih, kalau sudah tahu kewarasan Ming cuma setengah, Wayan Karta hajar saja para pemuda dengan lelucon cabul itu.
Namun tentu saja, Wayan Karta gentar juga kalau harus berhadapan dengan pemuda-pemuda itu. Wayan Karta berumur lebih dari dua kali umur mereka. Badannya juga tipis. Rusuknya bercuatan. Kena hantam sekali nanti remuk semuanya. Maka yang Wayan Karta kejar dengan balok di bahu ya si Ming.
Begitu melihat Ming berdiri membelakanginya di kejauhan sambil terus berteriak, “Saodah! Saodah istrikuuu...! Di mana kamu?” Wayan Karta langsung berlari dan memukul sekuat-kuatnya bahu Ming dengan baloknya.
Bukan main lengking kesakitan Ming dan Wayan Karta masih jauh dari selesai. Kemarahan dan rasa malunya yang seharusnya dibagi sama rata pada para pemuda dengan lelucon cabul itu ditumpahkan seluruhnya pada Ming.
Kalau Ming terlalu waras, mungkin dia mati saat itu juga. Akan tetapi berkat separuh kesintingannya, semua luka di tubuhnya itu masih tertahankan dan Ming hidup setidaknya sampai hari ketika ia pergi untuk kesepuluh kalinya dari desa itu, selepas meramalkan akan datangnya air yang begitu deras pada awal malam kedua puluh satu bulan baru.
